Siak Sri Indrapura, "Daya Tarik Kerajaan Melayu Islam"
IBARAT berlian dalam lumpur, Kabupaten Siak di
Provinsi Riau kini mulai bersinar setelah pemerintah memolesnya. Daya
tarik sejarah, budaya, dan alamnya mengundang pelancong untuk
berkunjung.
Empat remaja bermain di tepi Sungai Siak yang
dibelakangi Masjid Raya Syahabuddin. Mereka memanjat pohon, saling
siram, dan ejek. Saat azan berkumandang, para remaja yang berpakaian
khas melayu itu bergegas masuk ke masjid. Jumlah jemaah meruah, mereka
terpaksa shalat di halaman masjid bersama sebagian jemaah lain. Di
antara mereka, terdapat dua warga Malaysia yang tengah berwisata dan
turut shalat Jumat di sana.
Masjid Raya Syahabuddin selalu penuh
sesak saat ibadah shalat Jumat. Masjid mungil dengan luas tapak 399
meter persegi ini merupakan salah satu bangunan kebanggaan masyarakat
Siak.
Masjid Raya Syahabuddin dibangun pada 1926 semasa kejayaan
Kerajaan Siak di bawah kepemimpinan Sultan Syarif Kasim II. Makanya,
masjid bercat kuning ini juga dikenal dengan nama Masjid Kerajaan Siak.
Di
samping masjid inilah jasad Sultan Syarif Kasim II dan para
permaisurinya dikebumikan. Karena itu, tempat ini kerap dikunjungi
pelancong. Selain ingin menikmati keindahan masjid, mereka juga ziarah
ke makam sultan. ”Sultan ini terkenal berwibawa, mempunyai ilmu agama
yang tinggi, dan baik budi. Makanya banyak yang berdoa di dekat
makamnya,” ujar Bupati Siak Syamsuar.
Sultan Syarif Kasim II
berjasa memperkuat basis agama. Dia mendirikan dua Madsarah Taufiqiyah
untuk murid pria dan Annisa untuk perempuan. Kedua madrasah ini berdiri
sekitar 20 meter dari Istana Siak, tak jauh dari masjid tersebut.
Sampai
sekarang, bangunan kedua madrasah itu masih utuh. ”Sekarang bangunan
Taufiqiyah kami fungsikan sebagai sekolah taman kanak-kanak, sementara
gedung Annisa menjadi Istana Peraduan,” kata Kepala Bagian Humas
Kabupaten Siak Juarman.
Kerajaan Siak
Sultan
Syarif Kasim II merupakan penguasa Kerajaan Siak terakhir. Jika
dirunut, dia adalah sultan ke-12 sejak kerajaan Siak didirikan oleh Raja
Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah.
Raja Kecik
merupakan keturunan Sultan Johor (Malaysia). Namun, karena perebutan
takhta, dia harus meninggalkan Johor semasa masih dalam kandungan
ibunya. Ketika dewasa, Raja Kecik merebut kesultanan Johor dari
kekuasaan Datuk Bendahara Tun Habib atau Sultan Abdul Jalil Riayat Shah.
Namun, keturunan Datuk Bendahara Tun Habib kembali merebut kekuasaan
Raja Kecik sehingga perang tak terelakkan.
Korban berjatuhan.
Rakyat sengsara. Kedua pihak akhirnya sepakat membagi daerah kekuasaan.
Raja Kecik mendapat bagian Siak dan menyingkir ke Buantan, daerah
pedalaman Sungai Siak. Dari sinilah Kerajaan Siak Sri Indrapura dia
dirikan, sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Setelah
lima kali pusat pemerintahan pindah, Kerajaan Siak menetap di Siak.
Istana Siak yang dibangun dengan arsitektur campuran Eropa-Arab-Melayu
berdiri tegak di tepi Jalan Sultan Syarif Hasyim, Kabupaten Siak.
Wisata sejarah
Dalam
istana ini, pelancong dapat menikmati kemegahan kerajaan melalui
peninggalan-peninggalan yang ada. Peninggalan yang termasuk istimewa
adalah cermin awet muda. Cermin ini selalu dipakai permaisuri untuk
berkaca dan mempertahankan kecantikannya. ”Pantulan dari cermin
dipercaya mampu mengurangi efek penuaan,” kata Zainuddin, Koordinator
Istana Sultan Siak, yang bertugas menjaga Istana Siak.
Entah betul
atau tidak cerita itu. Yang jelas, di setiap musim puncak kunjungan
pelancong, kaum hawa kerap antre sampai belasan meter untuk berkaca di
cermin awet muda itu.
Yang juga menarik adalah Komet, sejenis gramofon, yang berisi
musik-musik instrumental klasik abad XIII ciptaan komponis terkenal,
seperti Beethoven, Mozart, dan Strauss. Komet yang berbentuk lemari
setinggi 2 meter ini dibawa oleh Sultan Siak XI dari Jerman pada 1896.
Sampai
sekarang, Komet masih berfungsi. Piringan-piringan baja yang berisi
aransemen musik-musik klasik itu masih sangat terawat. Menurut
Zainuddin, Komet hanya ada dua di dunia, satu di Jerman dan satu lagi di
Istana Siak.
Daya tarik budaya
Kedekatan
Kesultanan Siak dengan Johor (Malaysia) menumbuhkan budaya serumpun.
Ketika keturunan dan kerabat istana berserak dari Siak, Brunei
Singapura, dan Malaysia, mereka dipersatukan oleh budaya. Pemerintah
Kabupaten Siak melihat peluang itu dengan menggelar Festival Siak
Bermadah setiap Oktober. Mereka mengundang perwakilan suku melayu dari
Johor, Malaka, Perak, Singapura, Brunei, dan Betawi.
Festival Siak
Bermadah ini seperti pesta rakyat. Warga dari sejumlah kecamatan
dimanjakan dengan beragam lomba, seperti lomba tari kreasi Melayu,
syair, tari tradisional Melayu, berbalas pantun, lagu melayu, dan adat
perkawinan Siak.
Jumlah pelancong pada saat Festival Siak Bermadah
mencapai puluhan ribu orang. Mereka datang dari sejumlah daerah
perwakilan suku Melayu. Bahkan, tak sedikit yang datang dari Lombok,
Bali, dan Jawa. Banyak Juga pelancong datang untuk mengenal silsilah
keluarganya.
”Kami ingin tahu nenek moyang kami karena katanya ada
nenek moyang kami dari Johor yang menjadi sultan di Siak,” kata Wan
Abdul Hadi (34), pelancong dari Johor, Malaysia.
Infrastruktur
Setelah kemerdekaan, Siak
hanyalah sebuah kecamatan, bahkan statusnya nyaris menjadi kelurahan.
Lokasinya yang dikelilingi sungai menjadikan Siak sulit dijangkau.
Namun, warga terus berjuang dan sejak 1999, Siak resmi menjadi
kabupaten.
Siak yang berpenduduk 457.533 jiwa ini menyimpan
potensi kekayaan alam luar biasa. Produksi minyaknya mencapai 114.600
barrel per hari. Data Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Siak menunjukkan,
Siak memiliki cadangan gas 22,5 miliar kaki kubik (BCF).
Dari
hasil minyak ini, pemerintah terus memoles Siak sehingga semakin
bersinar. Jalan berupa tanah gambut disulap Pemkab Siak menjadi jalan
aspal mulus. Anggaran yang mereka keluarkan mencapai Rp 300 miliar per
tahun.
Untuk memudahkan jangkauan pendatang, Pemkab Siak membangun
beberapa jembatan. Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah, sepanjang
1,5 kilometer, menghabiskan dana Rp 390 miliar. Jembatan ini
menghubungkan pusat kota dengan jalan utama menuju Siak.
Jembatan
lainnya adalah Jembatan Sultan Syarif Hasyim di Kecamatan Tualang yang
menelan biaya Rp 191 miliar serta Jembatan Raja Kecik di Kecamatan
Sungai Apit dan Sabak Auh. Semua jembatan tersebut memudahkan mobilitas
pelancong dan warga Siak. Jika dulu pendatang harus naik kapal untuk
menjangkau Siak, kini bisa dengan menggunakan alat transportasi darat.
Siak yang berjarak sekitar 120 km dari Pekanbaru dapat dijangkau
dengan menggunakan angkutan umum kapal. Tarif angkutan umum Rp 30.000,
sementara kapal Rp 60.000. Jika bersama keluarga atau teman, sebaiknya
menggunakan mobil pribadi atau mobil sewaan. Sebab, di Siak nyaris tak
ada angkutan umum, kecuali becak yang jumlahnya tak lebih dari 30 unit.
Jarak
Siak dari Singapura hanya 150 km. Pelancong dari Malaysia dan Singapura
biasanya naik kapal dengan waktu tempuh empat jam. Pemkab Siak
membangun tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Buatan, Pelabuhan Perawang,
dan Pelabuhan Siak Sri Indrapura.
Jika bosan dengan wisata sejarah
dan religi, cobalah wisata alam Siak. Sekitar 50 km dari pusat kota
terdapat Danau Zamrud yang masih perawan. Tantangannya, pelancong
dipaksa memasuki belantara hutan gambut dengan perahu tradisional,
melewati anak sungai untuk menjangkau Danau Zamrud. Tempat ini sangat
nyaman untuk memancing atau sekadar menikmati udara segar.
sumber:http://nasional.kompas.com/read/2012/08/18/1522518
/Siak.Daya.Tarik.Kerajaan.Melayu.Islam
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar